Kamis, 28 Mei 2015

HASNUL SUHAIMI (LEAD WITH A HELPFUL PERSON)



Ia mengaku lahir sebagai orang kebanyakan. Juga mengawali karir sebagai orang kebanyakan. Juga mengawali karir professional dari bawah di bidang teknik. Namun, memiliki semangat dan komitmen tinggi menjalankan tugas apa pun dengan baik. Di luar itu, ia tak henti menyiapkan diri untuk menjadi seoran leader.


Leader Tidak Terkait Dengan Postur Tubuh

Ternyata, ia memiliki pengalaman berkesan soal postur tubuh yang kecil. Tahun 1995, saat itu ia  sudah menjadi Manager Marketing Indosat, ia pernah ditawari menjadi direktur utama (dirut) sebuah perusahaan telekomunikasi  di luar negri. Tertarik, ia pun menemui seorang headhunter, yang menawari pekerjaan tersebut. Setelah wawancara dan menyelesaikan seleksi administrasi, ternyata pihak manajemen, alih-alih memenuhi janjinya, justru hanya menawarinya menjadi direktur marketing. “Hasnul untuk menjadi dirut, penampilan Anda harus meyakinkan. Anda tahu maksud Saya bukan?”
            “itu kejadian tak terlupakan,”ujarnya. Namun, tidak membuatnya patah arang. Justru membuat ia semakin termotivasi. Ia percaya bahwa di dalam dirinya ada kemampuan khas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dan itu tidak ,elulu soal penampilan fisik. Toh ia sudah bisa membuktikan akan hal ini sebelumnya, bahkan jauh sebelum ia lulus kuliah. Tahun 1980, ia adalah seorang dari tiga puluh pelamar yang lulus untuk melakukan praktik lapangan selama sebulan di schlumberger, Australia.
            Dari pengalaman ini, tahulh ia bahwa ada banyak orang Asia yang sudah merasa kalah sebelum bersaing dengan Eropa atau Amerika, hanya gara-gara tampilan fisik atau kemampuan Bahasa. Sesuatu yang menurutnya tidak perlu terjadi. Sbab, ada hal lain yang lebih penting dari soal fisik, yaitu kemampuan dan ketangguhan seseorang dalam berusaha dengan baik-baiknya.
            Perjalanan karirnya yang panjang, mengantarkannya pada kesadaran bahwa kemampuan memimpin yang tadinya terasa mustahil baginya ternyata bisa diperoleh dengan belajar dan kerja keras. “Untuk menjadi pemimpin yang baik, saya berupaya sambal bekerja, setahap demi setahap.  Mempraktikannya, belajar, praktik lagi, begitu seterusnya sampai menjadi kebiasaan,”ujarnya.

Memulai Karier Dari Bawah

            Hasnul memulai karir profesionalnya dari bawah. Begitu lulus S1, Departmen Elektronik Institut Teknologi Bandung (ITB),Ia memulai karier sebagai instrument Engineer di Schlumberger, di usia 24 tahun. Begitu , dinyatakan lulus praktik kerja lapangan, diakhir kuliahnya, Hasnul menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan service di bidang perminyakan dan gas bumi itu.  Ia mengaku bangga, kendati tugas sehari-hari hanya sebagai montir atau solder,”Toh untuk ukuran saat itu, gaji saya lumayan gede. Kalau sekarang kira kira 14 juta sebulan,”selorohnya. Di perusahaan multinasional ini ia hanya bertahan setahun (Januari 1982-Desember 1982).
            Belum terpikir akan menjadi seperti apa kariernya kelak. “Belum juga kepikir akan menjadi seorang leade.” Satu hal yang, dia ingat, seperti halnya saat masih di SMA, Hasnul merasa senang menjadi penengah atau penghubung antara dua kelompok kepentingan. Di Schlumber, ia juga sering menjadi penengah antara teknisi-teknisi asing / ekspatriat dan tekknis-teknisi dari dalam negri, yang notabenenya memiliki perbedaan kultur. Banyak ekspatriat berperilaku kasar dan berbicara seenaknya saat memberi instruksi kepada pekerja Indonesia. “Sedih juga mendapat kenyataan ini,” ujarnya. Ia lalu mendamaikan kedua kelompok pekerja ini dan berhasil. “Rupanya keterampilan berbahasa saya menolong untuk peran ini,” ujarnya.
            Hasnul kemudian pindahh ke Indosat (1983). Mula-mula ia bekerja sebagai staf teknik. Sebagai staff ia pernah kebagaian tugas jaga malam. Sebagai teknisi, ia bertanggung jawab menangani teknik sentral telepon, teleks, telegraf, dan komunikasi data secara berurutan selama dua setengah tahun sempai promosi menjadi asisten manajer.
            Sebenarnya, saat baru setahun bekerja di Indosat, dia ingin keluar karena merasa tidak kuat. Tetapi, seorang sahabat senior mencegahnya, agar tidak menjadi habit – setiaptahun pindah kerja. Hasnul pun bertahan, kendati harus hidup dengan uang tabungannya selama bekerja di Schlumberger, seperti saran kakak kelasnya di ITB itu. “Belakangan saya bersyukur untuk sarannya ini.”
            Di indosat, Hasnul menghabiskan waktu 23,5 tahun. Sebagian dari masa itu, 8 tahun ia habiskan di bidang teknik. Sampai pada masa, saatia merasa tugasnya dibidang teknik tidak lagi mendapatkan apresiasi layak dari pimpinan. “Bayangkan, saat itu divisi saya ditugaskan membangun jaringan sentral telepon baru, sambungan luar negri untuk pengalihan dari sentral lama. Dua bulan, siang malam tidak tidur sampai pekerjaan selesai. Kualitas jaringan telepon, teleks, dari dalam dan luar negri menjadi lebih bagus. Dan 80%  pendapatan berasal dan terhubung dengan devisi saya. Namun apa yang kamih harapkan tidak terjadi,” kenangnya.
            Di depan rapat pimpinan, timnya hanya mendapatkan terima kasih dan tepuk tangan. Tidak lebih. Di lain pihak, divisi marketing dan finance, dielu-elukan. Sebagai manajer unit, ia merasa tidak dihargai. Satu jam lebih rapat hanya membahas soal marketing.

Lu Jual, Gue Beli

            Inilah titik balik perjalanan karier Hasnul selanjutnya. Seorang mentor, menyarankannya untuk banting setir dari teknik yang sudah ia geluti selama delapan tahun kebidang marketing. “Jika ingin maju, tidak hanya cukup menguasai bidang teknik. Saatnya ambil bidang lain. Marketing atau Finance. Tetapi usahakan dari luar negri,” kata Heru Prasetyo, konsultan dan instruktur training, tempat ia menimba ilmu. Ia lalu mencari beasiswa dan mendapatkannya (1989). Jadilah ia mengambil gelar MBA dari University at Manoa (USA).
            Sepulang dari University of Hawaii, Hasnul langsung diangkat menjadi General Manajer Hubungan Administrasi Internasional (1992). “Sejak itu, say banting setir dari bidang teknik kebidang marketing – manajemen,” ujarnya. Namun setelah ini, kariernya terus menanjak. Tahun 1995 – 1997, ia kembali menjadi General Manager Divisi Niaga Indosat (Marketing dan sales). Lalu diperbantukan menjadi Direktur Niaga Telkomsel (1998), anak usaha Indosat.
            Sekembalinya ke Indosat, ia ditugasi untuk menjadi Direktur Utama IM3 (2001-2002).
Anak perusahaan Indosat, yang baru didirikan (2001). Saat itu, ia mendapat tugas bagaimana menjadikan IM# dapat bersaing dengan tri raksasa Telkomsel, Satelindo, dan XL. “Tugas yang berat,” ujarnya. Karena bukan saja ia harus mengubah pola pikir (mindset), tetapi juga sikap dan perilaku (behavior). Mengubah isi kepala dari pola pikir seorang teknik menjadi seorang marketing. Bukan hanya corporate marketing, tetapi sekaligus menjadi consumer marketing.
             Dari sini, ia kemudian diangkat menjadi salah seorang Direktur Indosat (2002), dan kemudian menjadi Direktur Utama (2005-2006). Selama karier panjangnya di Indosat, ia hanya memiliki prinsip sederhana : apapun yang ditugaskan kepadanya, selalu ia jalankan sebaik-baiknya. Begitulah ia mengahadapi tantangan. “Istilah betawinya, Lho jual, gue beli,” ujarnya.
            Memang diakuinya, ia selalu belajar bekerja. Mengais ilmu dari siapa saja : atasan, rekan kerja, anggota tim, dealer, supplier, bahkam dari toko handpone atau warung penjual voucher. Juga dari para pelanggan. Prinsipnya bahu-membahu mencapai tujuan perusahaan. “Dari sini ia belajar bahwa tim yang solid dan bekerja dengan ikhlas akan memberikan hasil yang luar biasa,” ujarnya.
            Beruntung ia memiliki mentor dan guru dari sosok Cacuk Sudarijanto (almarhum), tempat ia belajar mengaplikasikan ilmu yang ia dapat. Dari sosok orang nomor dua di Indosat (saat itu), inilah ia banyak belajar prinsip-prinsip leadership. “Bagi habis semua tugas, kalau ada kesulitan bantu. Jika kamu sibuk dengan tugas-tugas kamu snediri kapan kamu bisa me-manage-people. Kamu sibuk dengan diri sendiri, membuat catatan diatas meja, habis waktu, perusahaan tidak sempat kamu urus,” katanya.
            Dari sosok  Cacuk Sudarijanto pula, ia mengaku belajar bagaimana menformulasikan 75% jam kerja di kantor untuk beriintaksi dan berkoordinasi dengan bawahan dan 25% waktunya untuk koordinasi dan menjalin komunikasi keatas (atasan) dan horizontal (antara divisi). Perjalanan kariernya di Indosat ini, mengantarkan menjadi seorang leader, dengan sikap dan karakter serta kebiasaan yang sudah dibawanya sejak SMA yaitu : a helpful people.

PEMBUKTIAAN KUALITAS LEADEERSHIP HASNUL

            Padahal tahun 2006, ia sedang berada di top piramida Indosat. Sebagai professional, apalagi yang kurang. Nyaris tidak ada. Namun, di dalam hati kadang terbersit betapa banyaknya kelompok kepentingan yang harus diselaraskan. Pemegang saham. Pemerintah. Mungkin juga tokoh politik. Semua seolah berada di luar jangkauannya. “Saat itulah, tiba-tiba dating tawaran dar XL,” kenangnya.
            Tantangannya juga cukup menarik. Menjadikan XL sebagai perusahaan telekomunikasi nomor dua di Indonesia dan dalam waktu tiga tahun. “Apanaya yang istimewa,” pikirnya. Dari Indosat, perusahaan nomor dua, diminta mengangkat posisi XL, yang saat itu berada di posisi nomor tiga, menjadi perusahaan telekomunikasi nomor dua dikelasnya. Lucu. Saat itu, market share Indosat 19%, sedangkan market share XL hanya 10,5%.
            “Saya tanya, apa yang mesti saya lakukan. Dan dengan siapa saya bekerja ?” ternyata jawaban cuku menantang. “Kamu sendiri, up to you – yang penting focus bisnis. Terserah kamu mau melakukan apa?” Jadilah. Akhirnya ia menerima tantangan pindah ke XL. Alasannya, sederhana, “mencari kesenangan, just fun,” ujar sosok yang mengaku banyak belajar dengan membaca kisah perjalanan tokoh-tokoh besar dunia ini.
            Memang tidak mudah. Namun disinilah kesempatan ia menunjukan kapasitas diri sebagai seorang top leader. Langkah pertama, saat mempin XL adalah membentuk tim yang solid, yang siap menghadapi pertempuran di lapangan. Prinsip dan gaya  kepemimpinan kolektif kolegial, kembali ia terapkan. Untuk membangun kepercayaan di dalam tim, ia menempatkan bawahan sebagai teman, sehingga jika ada masalah apapun, ia bisa dengan mudah berbagi dengan semua tim.
            Misalnya ada masalah network, ia tidak akan mecari solusi dan memutuskan sendiri. Tetapi melibatkan semua devisi, marketing, sales, finance, “sehingga hampir tidak ada keputusan yang saya ambil sendiri. Semua melalui diskusi melibatkan banyak orang,” kata pengagum Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 ini.
            Dengan kekuaatan tim yang solid (marketing, proses, coast, teknik, dan finace) di bawah komandonya, XL pun tetap melaju dengan strategi bisnis yang coba ditirunya dari steve jobs, yakni berusaha memahami kebutuhan calon konsumen. Memperkirakan apa yang dibuutuhkan pelanggan, kebutuhan yang belum terpikirkan saat ini, namun akan disukai pelanggan saat produk di luncurkan. “Kini hampir setiap dua bulan XL meluncurkan produk baru,” ujarnya.

TIPS MEMIMPIN CARA HANSUL SUHAIMI :

  1.       Be a helpful person.  Jadi pendengar dan sahabat yang baik untuk bawahan maupun atasan. Jika diperlukan, bantu mereka menyelesaikan masalah.
  2.       Kolektif – kolegial. Dapatkan sumber informasi sebanyak mungkin. Diskusikan bersama tim masalah yang dihadapi dan putuskan scara bersama solusi atau jalan keluarnya.
  3.       Delegasikan. Jangan asyik dengan tugas sendiri. Bagi habis semua tugas kepada bawahan. Evaluasi, tanyakan apa masalahnya dan bantu mereka menyelesaikan masalah.
  4.            Connecting the Dol / Towal. Jangan diam di dalam kantor. Aktiflah bergerak. Berikan 75% untuk berkoordinasi dan berinteraksi dengan bawahan, dan 25% untuk berkoordinasi dengan atasan dan lintas devisi (horizontal).
  5.       Beri Kepercayaan. Padahal problem di dalam tim dengan solusi yang disepakati bersama.  Beri kepercayaan / tanggung jawab salah seorang dianataranya untuk menyelesaikan tugas sesuai solusi bersama.
  6.       Motivating. Jangan egois. Bantu motivasi orang lain agar  ikhlas dan bersemangat mencapai target yang ditentukan.
  7.       Evaluasi. Lakukan monitoring secara berkala. Tanyakan dan cari tau, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  8.       Coaching. Bantu kembangkan potensi anggota tim. Beri dukungan dan cari tau apa passionyang mereka miliki.

Referensi:
Majalah intipesan vol.001 halaman 23-32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar