Ia mengaku lahir sebagai
orang kebanyakan. Juga mengawali karir sebagai orang kebanyakan. Juga mengawali
karir professional dari bawah di bidang teknik. Namun, memiliki semangat dan
komitmen tinggi menjalankan tugas apa pun dengan baik. Di luar itu, ia tak
henti menyiapkan diri untuk menjadi seoran leader.
Leader Tidak Terkait Dengan Postur Tubuh
Ternyata, ia memiliki
pengalaman berkesan soal postur tubuh yang kecil. Tahun 1995, saat itu ia sudah menjadi Manager Marketing Indosat, ia
pernah ditawari menjadi direktur utama (dirut) sebuah perusahaan
telekomunikasi di luar negri. Tertarik,
ia pun menemui seorang headhunter, yang menawari pekerjaan tersebut. Setelah
wawancara dan menyelesaikan seleksi administrasi, ternyata pihak manajemen,
alih-alih memenuhi janjinya, justru hanya menawarinya menjadi direktur
marketing. “Hasnul untuk menjadi dirut, penampilan Anda harus meyakinkan. Anda
tahu maksud Saya bukan?”
“itu
kejadian tak terlupakan,”ujarnya. Namun, tidak membuatnya patah arang. Justru
membuat ia semakin termotivasi. Ia percaya bahwa di dalam dirinya ada kemampuan
khas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dan itu tidak ,elulu soal
penampilan fisik. Toh ia sudah bisa membuktikan akan hal ini sebelumnya, bahkan
jauh sebelum ia lulus kuliah. Tahun 1980, ia adalah seorang dari tiga puluh
pelamar yang lulus untuk melakukan praktik lapangan selama sebulan di
schlumberger, Australia.
Dari
pengalaman ini, tahulh ia bahwa ada banyak orang Asia yang sudah merasa kalah
sebelum bersaing dengan Eropa atau Amerika, hanya gara-gara tampilan fisik atau
kemampuan Bahasa. Sesuatu yang menurutnya tidak perlu terjadi. Sbab, ada hal
lain yang lebih penting dari soal fisik, yaitu kemampuan dan ketangguhan
seseorang dalam berusaha dengan baik-baiknya.
Perjalanan
karirnya yang panjang, mengantarkannya pada kesadaran bahwa kemampuan memimpin
yang tadinya terasa mustahil baginya ternyata bisa diperoleh dengan belajar dan
kerja keras. “Untuk menjadi pemimpin yang baik, saya berupaya sambal bekerja,
setahap demi setahap. Mempraktikannya,
belajar, praktik lagi, begitu seterusnya sampai menjadi kebiasaan,”ujarnya.
Memulai Karier Dari Bawah
Hasnul
memulai karir profesionalnya dari bawah. Begitu lulus S1, Departmen Elektronik
Institut Teknologi Bandung (ITB),Ia memulai karier sebagai instrument Engineer
di Schlumberger, di usia 24 tahun. Begitu , dinyatakan lulus praktik kerja
lapangan, diakhir kuliahnya, Hasnul menerima tawaran untuk bekerja di
perusahaan service di bidang perminyakan dan gas bumi itu. Ia mengaku bangga, kendati tugas sehari-hari
hanya sebagai montir atau solder,”Toh untuk ukuran saat itu, gaji saya lumayan
gede. Kalau sekarang kira kira 14 juta sebulan,”selorohnya. Di perusahaan
multinasional ini ia hanya bertahan setahun (Januari 1982-Desember 1982).
Belum
terpikir akan menjadi seperti apa kariernya kelak. “Belum juga kepikir akan
menjadi seorang leade.” Satu hal yang, dia ingat, seperti halnya saat masih di
SMA, Hasnul merasa senang menjadi penengah atau penghubung antara dua kelompok
kepentingan. Di Schlumber, ia juga sering menjadi penengah antara
teknisi-teknisi asing / ekspatriat dan tekknis-teknisi dari dalam negri, yang
notabenenya memiliki perbedaan kultur. Banyak ekspatriat berperilaku kasar dan
berbicara seenaknya saat memberi instruksi kepada pekerja Indonesia. “Sedih
juga mendapat kenyataan ini,” ujarnya. Ia lalu mendamaikan kedua kelompok
pekerja ini dan berhasil. “Rupanya keterampilan berbahasa saya menolong untuk
peran ini,” ujarnya.
Hasnul
kemudian pindahh ke Indosat (1983). Mula-mula ia bekerja sebagai staf teknik.
Sebagai staff ia pernah kebagaian tugas jaga malam. Sebagai teknisi, ia
bertanggung jawab menangani teknik sentral telepon, teleks, telegraf, dan
komunikasi data secara berurutan selama dua setengah tahun sempai promosi
menjadi asisten manajer.
Sebenarnya,
saat baru setahun bekerja di Indosat, dia ingin keluar karena merasa tidak
kuat. Tetapi, seorang sahabat senior mencegahnya, agar tidak menjadi habit –
setiaptahun pindah kerja. Hasnul pun bertahan, kendati harus hidup dengan uang
tabungannya selama bekerja di Schlumberger, seperti saran kakak kelasnya di ITB
itu. “Belakangan saya bersyukur untuk sarannya ini.”
Di
indosat, Hasnul menghabiskan waktu 23,5 tahun. Sebagian dari masa itu, 8 tahun
ia habiskan di bidang teknik. Sampai pada masa, saatia merasa tugasnya dibidang
teknik tidak lagi mendapatkan apresiasi layak dari pimpinan. “Bayangkan, saat
itu divisi saya ditugaskan membangun jaringan sentral telepon baru, sambungan
luar negri untuk pengalihan dari sentral lama. Dua bulan, siang malam tidak
tidur sampai pekerjaan selesai. Kualitas jaringan telepon, teleks, dari dalam
dan luar negri menjadi lebih bagus. Dan 80%
pendapatan berasal dan terhubung dengan devisi saya. Namun apa yang
kamih harapkan tidak terjadi,” kenangnya.
Di
depan rapat pimpinan, timnya hanya mendapatkan terima kasih dan tepuk tangan.
Tidak lebih. Di lain pihak, divisi marketing
dan finance, dielu-elukan. Sebagai
manajer unit, ia merasa tidak dihargai. Satu jam lebih rapat hanya membahas
soal marketing.
Lu Jual, Gue Beli
Inilah
titik balik perjalanan karier Hasnul selanjutnya. Seorang mentor,
menyarankannya untuk banting setir dari teknik yang sudah ia geluti selama
delapan tahun kebidang marketing. “Jika ingin maju, tidak hanya cukup menguasai
bidang teknik. Saatnya ambil bidang lain. Marketing atau Finance. Tetapi
usahakan dari luar negri,” kata Heru Prasetyo, konsultan dan instruktur
training, tempat ia menimba ilmu. Ia lalu mencari beasiswa dan mendapatkannya
(1989). Jadilah ia mengambil gelar MBA dari University at Manoa (USA).
Sepulang
dari University of Hawaii, Hasnul langsung diangkat menjadi General Manajer
Hubungan Administrasi Internasional (1992). “Sejak itu, say banting setir dari
bidang teknik kebidang marketing – manajemen,” ujarnya. Namun setelah ini,
kariernya terus menanjak. Tahun 1995 – 1997, ia kembali menjadi General Manager
Divisi Niaga Indosat (Marketing dan sales). Lalu diperbantukan menjadi Direktur
Niaga Telkomsel (1998), anak usaha Indosat.
Sekembalinya
ke Indosat, ia ditugasi untuk menjadi Direktur Utama IM3 (2001-2002).
Anak perusahaan Indosat, yang baru
didirikan (2001). Saat itu, ia mendapat tugas bagaimana menjadikan IM# dapat
bersaing dengan tri raksasa Telkomsel, Satelindo, dan XL. “Tugas yang berat,”
ujarnya. Karena bukan saja ia harus mengubah pola pikir (mindset), tetapi juga
sikap dan perilaku (behavior). Mengubah isi kepala dari pola pikir seorang
teknik menjadi seorang marketing. Bukan hanya corporate marketing, tetapi
sekaligus menjadi consumer marketing.
Dari sini, ia kemudian diangkat menjadi salah
seorang Direktur Indosat (2002), dan kemudian menjadi Direktur Utama
(2005-2006). Selama karier panjangnya di Indosat, ia hanya memiliki prinsip
sederhana : apapun yang ditugaskan kepadanya, selalu ia jalankan
sebaik-baiknya. Begitulah ia mengahadapi tantangan. “Istilah betawinya, Lho
jual, gue beli,” ujarnya.
Memang
diakuinya, ia selalu belajar bekerja. Mengais ilmu dari siapa saja : atasan,
rekan kerja, anggota tim, dealer, supplier, bahkam dari toko handpone atau
warung penjual voucher. Juga dari para pelanggan. Prinsipnya bahu-membahu
mencapai tujuan perusahaan. “Dari sini ia belajar bahwa tim yang solid dan bekerja
dengan ikhlas akan memberikan hasil yang luar biasa,” ujarnya.
Beruntung
ia memiliki mentor dan guru dari sosok Cacuk Sudarijanto (almarhum), tempat ia
belajar mengaplikasikan ilmu yang ia dapat. Dari sosok orang nomor dua di
Indosat (saat itu), inilah ia banyak belajar prinsip-prinsip leadership. “Bagi
habis semua tugas, kalau ada kesulitan bantu. Jika kamu sibuk dengan
tugas-tugas kamu snediri kapan kamu bisa me-manage-people. Kamu sibuk dengan
diri sendiri, membuat catatan diatas meja, habis waktu, perusahaan tidak sempat
kamu urus,” katanya.
Dari
sosok Cacuk Sudarijanto pula, ia mengaku
belajar bagaimana menformulasikan 75% jam kerja di kantor untuk beriintaksi dan
berkoordinasi dengan bawahan dan 25% waktunya untuk koordinasi dan menjalin komunikasi
keatas (atasan) dan horizontal (antara divisi). Perjalanan kariernya di Indosat
ini, mengantarkan menjadi seorang leader, dengan sikap dan karakter serta
kebiasaan yang sudah dibawanya sejak SMA yaitu : a helpful people.
PEMBUKTIAAN KUALITAS LEADEERSHIP HASNUL
Padahal
tahun 2006, ia sedang berada di top piramida Indosat. Sebagai professional,
apalagi yang kurang. Nyaris tidak ada. Namun, di dalam hati kadang terbersit
betapa banyaknya kelompok kepentingan yang harus diselaraskan. Pemegang saham.
Pemerintah. Mungkin juga tokoh politik. Semua seolah berada di luar
jangkauannya. “Saat itulah, tiba-tiba dating tawaran dar XL,” kenangnya.
Tantangannya
juga cukup menarik. Menjadikan XL sebagai perusahaan telekomunikasi nomor dua
di Indonesia dan dalam waktu tiga tahun. “Apanaya yang istimewa,” pikirnya.
Dari Indosat, perusahaan nomor dua, diminta mengangkat posisi XL, yang saat itu
berada di posisi nomor tiga, menjadi perusahaan telekomunikasi nomor dua
dikelasnya. Lucu. Saat itu, market share Indosat 19%, sedangkan market share XL
hanya 10,5%.
“Saya
tanya, apa yang mesti saya lakukan. Dan dengan siapa saya bekerja ?” ternyata
jawaban cuku menantang. “Kamu sendiri, up to you – yang penting focus bisnis.
Terserah kamu mau melakukan apa?” Jadilah. Akhirnya ia menerima tantangan
pindah ke XL. Alasannya, sederhana, “mencari kesenangan, just fun,” ujar sosok
yang mengaku banyak belajar dengan membaca kisah perjalanan tokoh-tokoh besar
dunia ini.
Memang
tidak mudah. Namun disinilah kesempatan ia menunjukan kapasitas diri sebagai
seorang top leader. Langkah pertama, saat mempin XL adalah membentuk tim yang
solid, yang siap menghadapi pertempuran di lapangan. Prinsip dan gaya kepemimpinan kolektif kolegial, kembali ia
terapkan. Untuk membangun kepercayaan di dalam tim, ia menempatkan bawahan
sebagai teman, sehingga jika ada masalah apapun, ia bisa dengan mudah berbagi
dengan semua tim.
Misalnya
ada masalah network, ia tidak akan mecari solusi dan memutuskan sendiri. Tetapi
melibatkan semua devisi, marketing, sales, finance, “sehingga hampir tidak ada
keputusan yang saya ambil sendiri. Semua melalui diskusi melibatkan banyak
orang,” kata pengagum Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 ini.
Dengan
kekuaatan tim yang solid (marketing, proses, coast, teknik, dan finace) di
bawah komandonya, XL pun tetap melaju dengan strategi bisnis yang coba
ditirunya dari steve jobs, yakni berusaha memahami kebutuhan calon konsumen.
Memperkirakan apa yang dibuutuhkan pelanggan, kebutuhan yang belum terpikirkan
saat ini, namun akan disukai pelanggan saat produk di luncurkan. “Kini hampir
setiap dua bulan XL meluncurkan produk baru,” ujarnya.
TIPS MEMIMPIN CARA HANSUL SUHAIMI :
- Be a helpful person. Jadi pendengar dan sahabat yang baik untuk bawahan maupun atasan. Jika diperlukan, bantu mereka menyelesaikan masalah.
- Kolektif – kolegial. Dapatkan sumber informasi sebanyak mungkin. Diskusikan bersama tim masalah yang dihadapi dan putuskan scara bersama solusi atau jalan keluarnya.
- Delegasikan. Jangan asyik dengan tugas sendiri. Bagi habis semua tugas kepada bawahan. Evaluasi, tanyakan apa masalahnya dan bantu mereka menyelesaikan masalah.
- Connecting the Dol / Towal. Jangan diam di dalam kantor. Aktiflah bergerak. Berikan 75% untuk berkoordinasi dan berinteraksi dengan bawahan, dan 25% untuk berkoordinasi dengan atasan dan lintas devisi (horizontal).
- Beri Kepercayaan. Padahal problem di dalam tim dengan solusi yang disepakati bersama. Beri kepercayaan / tanggung jawab salah seorang dianataranya untuk menyelesaikan tugas sesuai solusi bersama.
- Motivating. Jangan egois. Bantu motivasi orang lain agar ikhlas dan bersemangat mencapai target yang ditentukan.
- Evaluasi. Lakukan monitoring secara berkala. Tanyakan dan cari tau, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Coaching. Bantu kembangkan potensi anggota tim. Beri dukungan dan cari tau apa passionyang mereka miliki.
Referensi:
Majalah intipesan vol.001 halaman
23-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar